Karna Wijaya, Manajer Biofuel, Katalis dan Hidrogen, PSE-UGM
Dewasa
ini sumber energi utama yang digunakan di berbagai Negara adalah minyak
bumi. Eksploitasi secara ekstensif dan berkepanjangan menyebabkan
cadangan minyak bumi semakin menipis dan harganya melonjak secara tajam
dari tahun ke tahun. Di antara berbagai produk olahan minyak bumi,
seperti bensin, minyak tanah, minyak solar, dan avtur. Solar merupakan
bahan bakar yang tergolong paling banyak digunakan karena kebanyakan
alat transportasi, alat pertanian, penggerak generator listrik dan
peralatan berat lainnya menggunakan solar sebagai sumber energi.
Mengingat arti penting solar serta cadangan minyak bumi yang semakin
menipis, berbagai upaya telah dilakukan untuk mencari energi alternatif
pengganti bahan bakar diesel tersebut. Bahan bakar alternatif yang saat
ini sangat menjanjikan sebagai pengganti petrodisel adalah minyak sawit
dan hasil olahannya yang disebut dengan biodiesel. Namun sayangnya
minyak sawit memiliki sifat mudah teroksidasi dan menjadi rusak karena
minyak sawit banyak mengandung asam lemak. Penggunaan langsung minyak
sawit dapat menyebabkan kerusakan mesin diesel karena hasil pembakaran
minyak sawit membentuk deposit pada pipa injektor mesin diesel dan asap
berlebih. Selain itu minyak sawit juga memiliki viskositas yang lebih
tinggi dari pada petrodiesel. Dari sisi ekonomi penggunaan minyak sawit
secara langsung juga kurang menguntungkan karena harus bersaing dengan
minyak goreng komersial yang pada gilirannya mengganggu ketahanan
pangan. Konversi minyak sawit murah seperti CPO parit atau minyak goreng
bekas menjadi biodiesel diperlukan agar minyak sawit dapat digunakan
sebagai bahan bakar tanpa mengganggu ketahanan pangan.
Biodiesel yang secara umum didefinisikan sebagai ester monoalkil dari
tanaman dan lemak hewan merupakan bahan bakar alternatif yang sangat
potensial digunakan sebagai pengganti solar karena kemiripan
karakteristiknya. Selain itu biodiesel yang berasal dari minyak nabati
merupakan bahan bakar yang dapat diperbaharui (renewable),
mudah diproses, harganya relatif stabil, tidak menghasilan cemaran yang
berbahaya bagi lingkungan (non toksik) serta mudah terurai secara alami.
Untuk mengatasi kelemahan minyak sawit, maka minyak sawit itu harus
dikonversi terlebih dahulu menjadi bentuk metil atau etil esternya
(biodiesel). Bentuk metil atau etil ester ini relatif lebih ramah
lingkungan namun juga kurang ekonomis karena menggunakan bahan baku
minyak sawit goreng. Sementara itu, minyak goreng bekas atau jelantah
dari industri pangan dan rumah tangga cukup banyak tersedia di
Indonesia. Minyak jelantah ini tidak baik jika digunakan kembali untuk
memasak karena banyak mengandung asam lemak bebas dan radikal yang dapat
membahayakan kesehatan. Sebenarnya konversi langsung minyak jelantah
atau minyak goreng bekas menjadi biodisel sudah cukup lama dilakukan
oleh para peneliti biodiesel namun beberapa mengalami kegagalan, karena
minyak goreng bekas mengandung asam lemak bebas dengan konsentrasi cukup
tinggi. Kandungan asam lemak bebas dapat dikurangi dengan cara
mengesterkan asam lemak bebas dengan katalis asam homogen, seperti asam
sulfat atau katalis asam heterogen seperti zeolit atau lempung
teraktivasi asam. Skema di bawah ini memperlihatkan proses pembuatan
biodesel dari minyak goreng bekas yang mengadopsi prinsip zero waste process.
Skema 1. Siklus pengolahan minyak bekas/jelantah menjadi biodiesel
Hasil penelitian oleh peneliti dari tahun 2005 hingga saat ini
menunjukkan bahwa biodiesel yang diproduksi dari minyak sawit bekas
(jelantah) memiliki kualitas yang hampir sama baiknya dengan biodiesel
standard yang dipersyaratkan oleh ASTM dan diesel perdagangan sehingga
biodiesel yang merupakan hasil konversi minyak sawit goreng bekas
memiliki peluang untuk dipasarkan baik di dalam negeri maupun untuk
diekspor. Kendala utama yang dihadapi untuk keperluan produksi masal
adalah pasokan serta harga minyak goreng bekas yang mungkin sangat
berfluaktif dari waktu ke waktu.
Tabel 1. Salah satu contoh hasil uji ASTM biodiesel dari minyak goreng bekas (didanai oleh DP2M-DIKTI)
Mengingat minyak goreng bekas relatif mudah dan murah didapat maka
sudah selayaknya pemerintah, masyarakat, industri dan peneliti juga
mulai memperhatikan potensi pengembanganya. Di Jepang konversi minyak
goreng bekas menjadi biodiesel sudah mencapai titik ultimate
dan telah digunakan sebagai bahan bakar biosolar sarana transportasi,
sementara di Indonesia ketersediaan minyak goreng bekas sangat melimpah,
begitu pula penelitian tentang konversi minyak goreng bekas menjadi
biodiesel sudah mapan dan cukup lama, namun dalam prakteknya masih
sangat sedikit sarana transportasi yang menggunakan biodiesel minyak
goreng bekas.
Reaktualisasi dan rekomendasi
Setelah sekian lama terpendam, riset dan pengembangan biodiesel dari
minyak goreng bekas di Indonesia, khususnya dari minyak sawit perlu
diaktualkan kembali, beberapa rekomendasi yang dapat kita lakukan
bersama-sama adalah: membangun zona pengembangan biodiesel dari minyak
goreng bekas, memetakan potensi minyak goreng bekas pada zona
pengembangan, mengatur tata niaga penjualan minyak goreng bekas sehingga
harga tidak berfluktuasi secara tajam, menjamin pasokan bahan baku,
memberikan insentif kepada pelaku industri biodiesel berbasis minyak
goreng bekas, mempromosikan bahaya penggunaan minyak goreng bekas untuk
memasak, menjamin keamanan pasokan bahan baku untuk industri biodiesel
dan memantapkan kembali teknologi pengolahan minyak goreng bekas menjadi
biodiesel (biodiesel refinery technology).
Sumber: http://pse.ugm.ac.id/?p=338