Selasa, 27 Maret 2012

BIODIESEL DARI MINYAK GORENG BEKAS (JELANTAH)

MENGAKTUALKAN KEMBALI KONVERSI MINYAK GORENG BEKAS MENJADI BIODIESEL
Karna Wijaya, Manajer Biofuel, Katalis dan Hidrogen, PSE-UGM
Dewasa ini sumber energi utama yang digunakan di berbagai Negara adalah minyak bumi. Eksploitasi secara ekstensif dan berkepanjangan menyebabkan cadangan minyak bumi semakin menipis dan harganya melonjak secara tajam dari tahun ke tahun. Di antara berbagai produk olahan minyak bumi, seperti bensin, minyak tanah, minyak solar, dan avtur. Solar merupakan bahan bakar yang tergolong paling banyak digunakan karena kebanyakan alat transportasi, alat pertanian, penggerak generator listrik dan peralatan berat lainnya menggunakan solar sebagai sumber energi. Mengingat arti penting solar serta cadangan minyak bumi yang semakin menipis, berbagai upaya  telah dilakukan untuk mencari energi alternatif pengganti bahan bakar diesel tersebut. Bahan bakar alternatif yang saat ini sangat menjanjikan sebagai pengganti petrodisel adalah minyak sawit dan hasil olahannya yang disebut dengan biodiesel. Namun sayangnya minyak sawit memiliki sifat mudah teroksidasi dan menjadi rusak karena minyak sawit banyak mengandung asam lemak. Penggunaan langsung minyak sawit dapat menyebabkan kerusakan mesin diesel karena hasil pembakaran minyak sawit membentuk deposit pada pipa injektor mesin diesel dan asap berlebih. Selain itu minyak sawit juga memiliki viskositas yang lebih tinggi dari pada petrodiesel. Dari sisi ekonomi penggunaan minyak sawit secara langsung juga kurang menguntungkan karena harus bersaing dengan minyak goreng komersial yang pada gilirannya mengganggu ketahanan pangan. Konversi minyak sawit murah seperti CPO parit atau minyak goreng bekas menjadi biodiesel diperlukan agar minyak sawit dapat digunakan sebagai bahan bakar tanpa mengganggu ketahanan pangan.
Biodiesel yang secara umum didefinisikan sebagai ester monoalkil dari tanaman dan lemak hewan merupakan bahan bakar alternatif yang sangat potensial digunakan sebagai pengganti solar karena kemiripan karakteristiknya. Selain itu biodiesel yang berasal dari minyak nabati merupakan bahan bakar yang dapat diperbaharui (renewable), mudah diproses, harganya relatif stabil, tidak menghasilan cemaran yang berbahaya bagi lingkungan (non toksik) serta mudah terurai secara alami. Untuk mengatasi kelemahan minyak sawit, maka minyak sawit itu harus dikonversi terlebih dahulu menjadi bentuk metil atau etil esternya (biodiesel). Bentuk metil atau etil ester ini relatif lebih ramah lingkungan namun juga kurang ekonomis karena menggunakan bahan baku minyak sawit goreng. Sementara itu, minyak goreng bekas atau jelantah dari industri pangan dan rumah tangga cukup banyak tersedia di Indonesia. Minyak jelantah ini tidak baik jika  digunakan kembali untuk memasak karena banyak mengandung asam lemak bebas dan radikal yang dapat membahayakan kesehatan. Sebenarnya konversi langsung minyak jelantah atau minyak goreng bekas menjadi biodisel sudah cukup lama dilakukan oleh para peneliti biodiesel namun beberapa mengalami kegagalan, karena minyak goreng bekas mengandung asam lemak bebas dengan konsentrasi cukup tinggi. Kandungan asam lemak bebas dapat dikurangi dengan cara mengesterkan asam lemak bebas dengan katalis asam homogen, seperti asam sulfat atau katalis asam heterogen seperti zeolit atau lempung teraktivasi asam. Skema di bawah ini memperlihatkan proses pembuatan biodesel dari minyak goreng bekas yang mengadopsi prinsip zero waste process.

Skema 1. Siklus pengolahan minyak bekas/jelantah menjadi biodiesel
Hasil penelitian oleh peneliti dari tahun 2005 hingga saat ini menunjukkan bahwa biodiesel yang diproduksi dari minyak sawit bekas (jelantah) memiliki kualitas yang hampir sama baiknya dengan biodiesel standard yang dipersyaratkan oleh ASTM dan diesel perdagangan sehingga biodiesel yang merupakan hasil konversi minyak sawit goreng bekas memiliki peluang untuk dipasarkan baik di dalam negeri maupun untuk diekspor. Kendala utama yang dihadapi untuk keperluan produksi masal adalah pasokan serta harga minyak goreng bekas yang mungkin sangat berfluaktif dari waktu ke waktu.
Tabel 1. Salah satu contoh hasil uji ASTM biodiesel dari minyak goreng bekas (didanai oleh DP2M-DIKTI)

Mengingat minyak goreng bekas relatif mudah dan murah didapat maka sudah selayaknya pemerintah, masyarakat, industri dan peneliti juga mulai memperhatikan potensi pengembanganya. Di Jepang konversi minyak goreng bekas menjadi biodiesel sudah mencapai titik ultimate dan telah digunakan sebagai bahan bakar biosolar sarana transportasi, sementara di Indonesia ketersediaan minyak goreng bekas sangat melimpah, begitu pula penelitian tentang konversi minyak goreng bekas menjadi biodiesel sudah mapan dan cukup lama,  namun dalam prakteknya masih sangat sedikit sarana transportasi yang menggunakan biodiesel minyak goreng bekas.
Reaktualisasi dan rekomendasi
Setelah sekian lama terpendam, riset dan pengembangan biodiesel dari minyak goreng bekas di Indonesia, khususnya dari minyak sawit perlu diaktualkan kembali, beberapa rekomendasi yang dapat kita lakukan bersama-sama adalah: membangun zona pengembangan biodiesel dari minyak goreng bekas, memetakan potensi minyak goreng bekas pada zona pengembangan, mengatur tata niaga penjualan minyak goreng bekas sehingga harga tidak berfluktuasi secara tajam, menjamin pasokan bahan baku, memberikan insentif kepada pelaku industri biodiesel berbasis minyak goreng bekas, mempromosikan bahaya penggunaan minyak goreng bekas untuk memasak, menjamin keamanan pasokan bahan baku untuk industri biodiesel dan memantapkan kembali teknologi pengolahan minyak goreng bekas menjadi biodiesel (biodiesel refinery technology).

Sumber: http://pse.ugm.ac.id/?p=338